BERITA

Suster Theresia: Sebuah Panggilan untuk Melayani

Suster Theresia: Sebuah Panggilan untuk Melayani
Nicholaus Prasetya
| 24 Januari 2010 |

1 dari 3 Kompasianer menilai Menarik.

Wawancara dengan Suster TheresiaWajahnya berkulit agak hitam dengan paras muka yang khas dari Indonesia bagian timur dibalut dengan ktulusan hati untuk mengabdikan hidupnya pada pelayanan bagi orang-orang cacat. Dialah Suster Theresia, seorang anggota suster pembina yang sedang mengabdikan dirinya pada Panti Asuhan Bhakti Luhur di daerah Kopo, Bandung.

Lahir di daerah Flores pada tanggal 20 Mei 1964 serta menyelesaikan pendidikannya hingga ke bangku Sekolah Menengah Atas juga di daerah Flores kemudian beliau melanjutkan perjalanannya ke Malang menuju Rumah Pembinaan di Panti Galunggung untuk memastikan perjalanan awal hidupnya sebagai abdi Tuhan.

Sungguh menarik ketika mengikuti proses panggilan hidupnya. Seperti layaknya proses panggilan, beliau juga mengalami sebuah masa keragu-raguan untuk mengabdikan dirinya pada pelayanan. Namun, suatu hari di Panti Galunggung, beliau menangani seorang anak yang terkena penyakit hydrocephalus dan ia merasa sangat sulit untuk menjamahnya hingga kemudian ia berpikir bahwa jika ia berhasil menjamahnya, maka ia akan mengabdikan dirinya sebagai pelayan Tuhan.

Sebuah keajaiban muncul kemudian. Suatu hari, ketika hendak pergi di pagi hari, anak hydrocephalus yang biasa ia rawat itu menangis dan beliau dipanggil kembali agar bisa menenangkannya. Teringat kemudian olehnya bahwa pada pagi hari itu, beliau tidak sempat pamit kepada anak itu dan beliau baru sadar kemudian bahwa anak itu sudah lekat padanya dan sejak saat itu, beliau yakin akan panggilan hidupnya untuk bekerja pada pelayanan sosial. Akhirnya beliau mengabdikan dirinya sebagai seorang suster.

Karya-karyanya bisa dibilang tidak sedikit. Ia sudah berpengalaman selama satu tahun di Panti Galunggung kemudian melanjutkan langkah kaki pelayanannya di Flores sekitar dua belas tahun dan ditugaskan di Jakarta selama satu tahun sampai akhirnya berada di panti asuhannya sekarang selama kurang lebih satu tahun.

Permasalahan

Perjalanannya di tempatnya yang sekarang bukanlah sebuah pekerjaan yang mudah. Banyak tantangan yang menghadang jalan pelayanannya. Namun, itu semua tidak serta-merta mematahkan niatnya untuk terus menyebar kebaikan dan merawat siapapun yang membutuhkan pertolongan.

Permasalahan utamanya adalah terbatasnya tempat penampungan dan juga tenaga perawat yang dimiliki oleh panti asuhan tersebut. Bisa dibayangkan betapa sulitnya untuk merawat 17 anak dengan berbagai kondisi mentalnya yang terbelakang maupun yang tidak berkeluarga hanya dengan 8 orang perawat yang dimilikinya. Apalagi, hal ini juga diperparah dengan keberadaan beberapa anak yang memiliki keterbelakangan mental yang cukup parah sehingga membutuhkan pelayanan ekstra yang menyebabkan satu perawat pada akhirnya hanya memegang satu anak karena kondisi khususnya.

Permasalahan lainnya yang dihadapi adalah model pelayanan yang tidak menjangkau dan fleksibel. Apa yang sebenarnya diharapkan oleh beliau adalah model pelayanan dari satu pintu ke pintu lainnya dengan jadwal tetap. Hanya dengan cara itu, beliau merasa akan lebih mudah menjangkau semua anak-anak yang sekiranya membutuhkan bantuan di lingkungan sekitarnya.

Untungnya, permasalahan yang dihadapi olehnya tidak lagi terblit dengan permasalahan biaya. Hal ini dikarenakan ada donatur tetap yang akan membantu tugas pelayannya di panti asuhan tersebut. Selain itu, ada juga beberapa orang tua yang menitipkan anak disana dengan memberikan biaya untuk perawatan anaknya tersebut.

Namun, dalam beberapa kasus, panti asuhan ini tidak memiungut biaya sama sekali dari anak-anak yang dititipkan kepada mereka. Hal ini biasa disebabkan karena ketidakmampuan dari keluarga atau jika anak tersebut berasal dari pinggir-pinggir jalan dan memang sengaja dibuang oleh orang tua nya.

Permasalahan yang mereka hadapi juga akan dengan sendirinya tertanggulangi dengan kondisi lingkungan yang mendukung. Meskipun panti asuhan ini terletak di sekitar komplek perumahan, namun ketika ditanya tentang permasalahan apakah ada yang merasa terganggu dengan keberadaan panti ini, beliau menjawab tidak sama sekali. Para tetangga yang ada di sekiatr panti ini tidak pernah merasa terusik kegiatannya dan tidak menganggap panti ini sebagai sebuah gangguan di lingkungan mereka.

Hal-hal inilah yang pada akhirnya dapat mempertahankan eksistensi panti asuhan ini, selain juga karena disebabkan semangat pelayanan yang ditunjukkan oleh para suster yang berkarya disini.

Pendidikan

Pendidikan yang dikecap oleh anak-anak di panti asuhan ini adalah pendidikan yang sewajarnya diterima anak-anak normal jika mereka sudah bisa berelasi dengan baik selayaknya anak normal. Namun jika tidak, mereka akan disekolahkan di Sekolah Luar Biasa (SLB).

Untuk kasus anak-anak yang mengalami keterbelakangan mental cukup parah, maka panti asuhan ini mengadakan terapi secara khusus di panti asuhan tersebut yang dilakukan oleh para suster yang sudah mengenyam pendidikan tentang terapi untuk orang-orang cacat.

Pluralitas agama yang dijunjung tinggi

Hal yang patut untuk diapresiasi oleh panti asuhan yang dipimpin oleh beliau ini adalah mengenai pluralitas dalam beragama yang begitu dijunjung tinggi.

“Di panti asuhan ini, kami menerima anak-anak dari semua latar belakang agama. Tidak peduli mereka Islam, Katolik, Kristen, Hindu atau Budha. Jika mereka hendak menunaikan sholat Jumat, kami mengijinkan. Namun, jika mereka tidak mengetahui agama mereka, maka kami akan mengajak mereka ke Gereja. Bukan untuk memaksa mereka menjadi Katolik, namun untuk mengenalkan mereka pada Tuhannya. Toh, ketika sudah mati, kita semua juga akan menghadap Tuhan yang sama, bukan?”

Kira-kira, seperti itulah perkataan yang terlontar dari beliau selama proses bincang-bincang saya dengannya. Dari perkataannya jelas terlihat bahwa beliau begitu membebaskan anak-anaknya untuk beribadah sesuai dengan agama yang diyakininya. Namun, jika memang mereka tidak mengenal agama apapun, maka beliau akan mengajak mereka ke Gereja. Bukanlah sebuah hal yang salah jika dipikirkan, karena pada akhirnya ini bertujuan untuk kebaikan, yakni menyadarkan anak-anak itu bahwa masih ada yang menyayangi mereka dengan sepenuh hati, yakni Tuhan yang nantinya mereka kenal.

Harapan

Sebelum menapakkan kaki untuk pamit pulang, saya menanyakan apa yang hendak beliau sampaikan kepada orang-orang diluar sana. Kira-kira, seperti inilah jawaban yang beliau berikan.

“ Secara pribadi, pesan saya adalah agar kita tidak melihat keberadaan anak cacat sebagai suatu beban. Lebih dari itu, kita harus bisa melihat mereka sebagai sebuah harta yang kita miliki. Karena melaluinyalah kita bisa berbagi kasih dan memancarkan kasih Tuhan kepada sesama. Kita bisa menemui Tuhan di dalam diri anak cacat tersebut. Jadi, cintailah anak cacat.”

Sebuah pesan singkat yang sarat makna. Hal ini tentunya akan berbeda dengan paradigma yang dianut oleh sebagian besar masyarakat bahwa anak cacat itu adalah sebuh musibah, maka seringkali mereka disingkirkan dan dibuang.

Dari sinilah kita kemudian bisa belajar bahwa melalui anak cacat, ada kasih yang bisa kita pancarkan, untuk juga menyejahterkan sesama manusia.

diambil dari:http://sosbud.kompasiana.com/2010/01/24/suster-theresia-sebuah-panggilan-untuk-melayani/

One Response to Suster Theresia: Sebuah Panggilan untuk Melayani

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *