BERITA

Anak-anak Penyandang Disabilitas, Terlantar dan Tidak Diinginkan Keluarga Harus Dicintai

August 8, 2017 Jendela, Zlider

Para pengasuh, termasuk suster-suster ALMA berbaur dan tinggal bersama anak-anak penyandang disabilitas dan terlantar.

Hey, kasih bola ke sini!” teriak seorang anak berkostum oranye dengan tulisan “Messi” di punggungnya. Bola pun dioper kepadanya. Ia menggiring sebentar dan jatuh terjerembab. Sontak kejadian itu mengundang tawa dan senyum teman-temannya.

Saat HIDUP menghampiri anak-anak itu, mereka langsung berhenti bermain. “Cari siapa Om?” tanya seorang anak.

Ia mengajak HIDUP masuk ke rumah utama panti. Di situ, tampak dua suster dari Asosiasi Lembaga Misionaris Awam (ALMA) sedang bercengkerama dengan beberapa anak.

Inilah Panti Asuhan (PA) St Aloysius, Wairklau, Maumere, Nusa Tenggara Timur (NTT). Panti ini didirikan oleh suster-suster ALMA pada 28 Agustus 1992, dua tahun setelah mereka tiba di Maumere. Selain mendirikan panti, Suster ALMA juga mendirikan Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB) St Aloysius.

Pendirian panti dan SDLB ini merupakan perwujudan misi Pastor Paul Hendrikus Janssen CM, pendiri Tarekat ALMA. Pastor Janssen menekankan pentingnya hidup bersama dengan orang miskin, cacat dan telantar. Misi Pastor Janssen tersebut merupakan turunan dari ajaran St Vincentius de Paul, pelindung Tarekat ALMA.

Semangat Pelayanan
Tahun pertama panti berdiri, respon umat di Maumere sangat baik. Anak-anak penyandang disabilitas yang telantar serta orang miskin mulai ditampung di tempat itu. Menurut Kepala PA St Aloysius, Sr Veronika Witin ALMA, ada dua macam anak-anak yang diterima di panti yaitu: anak-anak penyandang disabilitas (tunagrahita, tunawicara, tunadaksa dan tunanetra) yang orangtuanya sudah tidak bisa merawat, dan anak-anak normal yang tidak diterima keluarga. “Ada banyak alasan mereka tidak diterima dalam keluarga. Bisa karena tidak dikehendaki, hamil di luar nikah dan lain-lain,” ujarnya.

Lebih lanjut, menurut Sr Veronika, untuk melayani anak-anak panti ini para pengasuh harus memiliki semangat cinta kasih yang besar. “Orang miskin, cacat dan telantar merupakan orang-orang yang terabaikan. Kami tergerak untuk membantu dengan hidup bersama mereka,” jelas suster lulusan Pendidikan Luar Biasa IKIP Surabaya ini.

Saat ini PA St Aloysius mengasuh 42 anak, terdiri dari 31 anak penyandang disabilitas dan sebelas anak normal. PA St Aloysius menyiapkan tenaga pengasuh terdiri dari empat suster, tujuh perawat dan beberapa relawan.

PA St Aloysius juga memberikan pela yanan kepada penyandang disabilitas di luar panti. Mereka mengirimkan tenaga keliling dari rumah ke rumah. “Kami datang ke rumah anak penyandang disabilitas untuk melatih orangtua mereka supaya bisa terlibat mendidik dan melatih anak-anaknya,” ujar Sr Veronika.

Tanpa Batas
Dalam menjalankan aktivitas, para pengurus panti terbiasa “hidup bersama” dengan anak-anak panti. Mereka tidak memiliki kamar sendiri, makan dan tidur selalu bersama anak-anak. “Para suster tidak memiliki ruang privasi. Meski demikian saya selalu gembira menjalani jalan panggilan ini,” ujar suster kelahiran Larantuka, Flores, 28 November 1974 ini.

Semangat kebersamaan ini juga dirasakan salah satu pengurus panti, Faustina Ndang. Dara yang akrab disapa Atyn ini mengikuti ajakan kakaknya yang menjadi suster ALMA. Pada 2006, ia mulai bergabung dan mendapat tugas mengajar anak-anak. Oleh Tarekat ALMA, Atyn sempat disekolahkan di Sekolah Menengah Kejuruan Bhakti Luhur Jurusan Sosial di Malang, Jawa Timur. Sama dengan para pengasuh lainnya, Atyn juga hidup bersama dengan anak-anak. Keadaan ini malah membuat Atyn bisa mewujudkan kasih sayangnya kepada anak-anak yang membutuhkan.

“Tidak ada ruang pemisah. Kasih meleburkan semua itu,” cerita wanita kelahiran Manggarai, Flores, 15 Februari 1991 ini sambil memangku salah satu anak panti.

Semangat kebersamaan yang diangkat di panti ini juga dirasakan Cinthya. Lewat kebersamaan itu, salah satu penghuni panti yang masih duduk di kelas dua SMP ini bisa merasakan kasih sayang dan kebaikan para suster serta pengurus panti. Siswi yang suka mata pelajaran sosial ini merasakan bahwa ia sungguh berada di tempat yang baik. “Saya senang dengan situasi kebersamaan di sini,” ujar Cinthya yang sejak bayi sudah tinggal di PA St Aloysius ini.

Usaha Pemberdayaan
PA St Aloysius juga fokus kepada pemberdayaan anak-anak dengan program wajib sekolah. Anak-anak yang normal akan disekolahkan di sekolah umum sedangkan yang menyandang disabilitas di SDLB St Aloysius. Saat belajar di SDLB tersebut, para guru akan mengamati perkembangan anak-anak penyandang disabilitas. Jika dinilai baik dan bisa mengikuti program reguler, mereka akan dimasukkan ke Sekolah Menengah Pertama (SMP) umum.

Sampai sekarang sudah ada beberapa anak dengan disabilitas bisa disekolahkan di SMP umum. Menurut salah satu pengurus PA St Aloysius, Sr Elisabeth Uko ALMA atau sering disapa Sr Elsa, awalnya para siswa penyandang disabilitas mengalami kesulitan, “Tetapi lambat laun, mereka bisa mengikuti pelajaran seperti siswa-siswi normal lain,” ujarnya.

PA St Aloysius juga berhasil mengirim beberapa anak panti penyandang disabilitas ke perguruan tinggi. Salah satunya Aleonaris Deang. Sejak kecil, Alan, demikian ia disapa mengalami gangguan lemah penglihatan atau “low vision”. Berkat dukungan para suster, Alan kini bisa menempuh pendidikan Bahasa Inggris di Universitas Nusa Nipa, Maumere. Alan juga pintar bernyanyi. Ia sudah menghasilkan satu album rohani. “Kami ingin anak-anak di sini, baik yang normal maupun disabilitas bisa berdaya,” ujar Sr Elsa.

Sumber Berkat
Tuhan selalu menjamin pelayanan mereka dari masa ke masa lewat uluran kasih para donator yang mencukupi kebutuhan PA St Aloysius dari waktu ke waktu. Menurut Sr Elsa, anggaran untuk mengelola PA memang tidak sedikit namun tantangan ini tidak menyurutkan semangat mereka. “Selalu saja ada orang yang terpanggil sebagai donatur yang mau terlibat dalam karya pelayanan ini,” ujarnya.

Lewat bantuan itu, Sr Veronika merasakan Tuhan merajai hidup manusia. Walau berkekurangan mereka tetap bergembira. Pastor Janssen mengajarkan kepada mereka untuk percaya bahwa setiap anak akan punya rejekinya sendiri-sendiri. Pesan inilah yang menguatkan mereka.

Sr Veronika mengaku senang hidup di PA St Aloysius. Ia selalu terhibur dan dikuatkan dengan karya pelayanannya. “Ketika ada tantangan atau cobaan, anak-anak bisa menjadi sumber kegembiraan kami,” kata Sr Veronika.

Edward Wirawan

sumber berita:
http://majalah.hidupkatolik.com/2017/08/08/6512/anak-anak-penyandang-disabilitas-terlantar-dan-tidak-diinginkan-keluarga-harus-dicintai/

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *