BERITA

Bhakti Luhur Sidoarjo

Indonesia – English

Bhakti Luhur Sidoarjo

02 December 2006

Rambut putih. Kulit keriput. Fisik rapuh. Kursi roda. Ini menjadi pemandangan sehari-hari di BHAKTI LUHUR Sidoarjo. Panti sosial ini berlokasi di Perumahan Wisma Tropodo, Kecamatan Waru, Kabupaten Sidoarjo. Bhakti Luhur didirikan oleh Romo PROF. DR. PAUL H. JANSSEN, C.M., dan diasuh oleh para suster ALMA.

Romo Janssen merasa perlu ‘mengembangkan sayap’ ke Surabaya dan sekitarnya, karena BHAKTI LUHUR pusat di Kota Malang sudah padat penghuni. Anak-anak asuh di Malang sedikitnya sudah 1.200 lebih pada tahun 2006. dan penghuni terus saja bertambah.

Hambatan pertama memulai BHAKTI LUHUR di Sidoarjo adalah sarana dan prasarana. Puji Tuhan, masyarakat dan sekitarnya tergerak memberikan sumbangan, sehingga panti ini mampu bertahan hingga kini. Bupati Sidoarjo kemudian meresmikan lembaga pelayanan sosial ini. sebelumnya, sempat ada kekhawatiran jangan-jangan BHAKTI LUHUR hanyalah kedok untuk melakukan ‘kristenisasi’ di Kabupaten Sidoarjo.

Namun, prasangka ini pelan-pelan hilang setelah masyarakat melihat karya nyata BHAKTI LUHUR. Bahkan, pada 2004 lalu Yayasan BHAKTI LUHUR mendapat penghargaan dari Menteri Sosial BACHTIAR CHAMZAH (kader Partai Persatuan Pembangunan, partai Islam puritan) pada HARI PENYANDANG CACAT NASIONAL yang dipusatkan di Surabaya.

Pemerintah pusat menilai Bhakti Luhur konsisten dalam melayani orang-orang yang ‘dibuang’ oleh masyarakat, bahkan keluarganya sendiri.

BHAKTI LUHUR Sidoarjo terdiri atas tiga bagian: LANSIA, ANAK CACAT, YATIM PIATU.

Ketika saya datangi pada belum lama ini, sekitar pukul 16.30 WIB, BHAKTI LUHUR ramai pengunjung. Saya disambut seorang suster dengan ramah. Lima menit kemudian suster menuntun seorang perempuan tua. Salah satu lansia memperkenalkan diri, MARIA MARGARETA ROKAYAH, akrab disapa OMA MARIA. Dia lahir di Solo, Jawa Tengah, 53 tahun lalu. Oma Maria kemudian menceritakan pengalamannya sampai menetap di panti.

“Awalnya, saya pegawai negeri di Samarinda, bekerja sebagai tata usaha di salah satu SMK negeri. Tapi, karena kecelakaan sepeda motor, saya harus mendapat perawatan di RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Saya menjalankan pengobatan rawat jalan selama tujuh bulan dan pengobatan alternatif berupa pijat refleksi.

“Setelah sembuh, saya pulang ke Kalimantan. Bekerja lagi sebagai tata usaha di tempat yang sama. Namun, pada tahun 2001, setelah main pingpong dan mengangkat meja, pinggang saya rasanya sakit. Saya langsung ke dokter dan dokter memberi obat sakit pinggang.

“Tetapi, karena pengaruh obat, penglihatan saya semakin tidak jelas. Dokter yang memeriksa saya mengatakan bahwa saya kena katarak dan saya kembali ke RSCM, tetapi mata saya tetap tidak sembuh,” cerita Oma Maria.

Oma Maria tidak punya suami dan keluarga. Dia hanya punya satu keponakan. Atas bantuan suster-suster MASF dia dikirim ke BHAKTI LUHUR.

“Di sini saya diterima dengan baik oleh teman-teman, perawat, dan suster. Di panti ini penuh rasa sukacita, gembira bersama teman-teman, dan saya tidak merasa ditinggalkan oleh keluarga. Tapi, kadang-kadang sebagai manusia, saya merasa jengkel karena ulah teman-teman atau perawat. Pelayanan di panti ini sungguh memuaskan.”

Seperti para peghuni lain, Oma Maria sibuk dengan aktivitas harian yang teratur. Makan, minum, istirahat, belajar huruf braille, belajar musik, ketrampilan. Oma Maria tidak lupa berdoa untuk mendekatkan diri pada Bapa di Surga. Selain itu, dia mempunyai keahlian khusus, yaitu memijat. Harapannya, setelah keluar dari panti ini dia bisa menjadi pemijat profesional.

Meskipun banyak teman dan selalu sibuk, Oma Maria mengaku sering rindu keluarga. Maka, setiap liburan tiba, ia selalu pulang. Untuk anak muda saat ini, Oma Maria mempunyai pesan khusus: “Gunakan kesempatan hidup ini dengan sebaik-baiknya,” ujarnya, ramah.

Saya juga sempat berbincang dengan MARGARETHA MARIA HARYANI atau Oma Haryani (63 tahun). Sejak keluarganya meninggal semua, Oma Haryani tinggal bersama adiknya. Tapi, karena beda keyakinan dan jarang ke gereja, Oma Haryani pindah ke Bhakti Luhur pada 4 Juni 2002. Dia tak merasa ditinggalkan oleh keluarganya sebab tiap bulan masih dikunjungi. Ada oleh-oleh menarik.

“Tiap hari saya ke gereja. Saya juga aktif di devosi Kerahiman Ilahi dan Legio Maria,” kata Oma Haryani. Aktivitas sehari-hari: misa pagi, senam pagi, sarapan, membantu mereka yang sudah sangat tua di komunitasnya. Ada juga yang main kulintang.

Suster CHRISTINA, pemimpin BHAKTI LUHUR Sidoarjo, menjelaskan, para lansia di sini rata-rata tidak menikah dan tidak punya keluarga. “Kami juga menerima mereka yang tidak bisa melayani diri sendiri dan membutuhkan perawatan. Seperti yang kena stroke dan penyakit lain yang tidak dirawat oleh keluarga.

“Mereka yang tidak punya keluarga, apabila ada yang meninggal di sini, itu menjadi tanggungan kami. Sedangkan yang punya keluarga, mereka akan dikembalikan,” jelas Sr Christina.

Sejak didirikan pada 1996 panti ini sudah banyak dihuni kaum lansia. Data Maret 2006: ada 90 orang lansia menikmati pelayanan kasih di BHAKTI LUHUR. Mereka dibagi dalam empat wisma: WISMA KARTINI, WISMA MARTA, WISMA MARIA, WISMA THERESIA. Tiap wisma ada ibu asrama sebagai penanggung jawab. Satu kamar dihuni tiga orang lansia ditambah dengan pengasuh.

Bagaimana biaya operasional panti?

“Kami hidup dari para donatur. Misalnya, empat wisma tersebut dibangun atas bantuan para dermawan. Kami sendiri tidak punya uang,” kata Sr Christin yang sudah 13 tahun mengabdi di BHAKTI LUHUR.

DI ruangan yang bersih dan lapang, KRISTINA MALO dengan telaten menemani delapan anak asuhnya. Tak ada suara, karena anak-anak ini tak bisa berbicara. Hanya saja, gerakan mereka terkesan aneh-aneh. Ada yang meronta-ronta, sehingga nyaris ambruk dari kursi.

Seorang anak tampak melata dan menjerit-jerit hendak ke luar ruangan. Merasa tak beroleh perhatian dari TINA, sapaan akrab Kristina Malo, anak itu menjerit-jerit. Suaranya lirih, gerakannya mbulet. “Jangan! Nanti Mbak ambilkan kue, enak sekali,” kata Tina mencegah penghuni BHAKTI LUHUR itu ke luar ruangan.

Di bagian tengah, anak lain berbaju merah bergulung-gulung di lantai. Bosan tidur, anak itu bangkit lagi berusaha duduk. Tapi gagal, telentang lagi. “Di sini memang ada macam-macam sindrom. Penanganannya pun berbeda-beda,” jelas Tina kepada saya.

Sindrom paling umum adalah ayan alias EPILEPSI. Jumlahnya empat anak. Sindrom lain CP FLOPY dan CP SPASFIK, keduanya karena cacat parah di tulang dan persendian. Gara-gara kelainan ini, tubuh mereka ibarat onggokan daging kosong tanpa penyangga. Sampai-sampai untuk memegang barang paling ringan sekalipun tidak bisa.

“Ada lagi yang berusaha pegang, tapi badannya kejang-kejang terus. Yah, kami-kami ini yang membantu,” kata gadis asal Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur ini.

Dari mana saja anak-anak ini berasal? Sesuai dengan BHAKTI LUHUR, yang melayani manusia tanpa membedakan latar belakang suku, agama, ras, etnis, asal-usul, penghuni sal anak-anak cacat ini berasal dari hampir semua wilayah Indonesia. “Si YENI itu misalnya dari Irian Jaya,” ujar Tina seraya menunjuk anak asuhnya yang berkulit gelap.

Ada lagi yang dari Maluku, Sulawesi, Surabaya, Malang, dan beberapa kota lain di Jawa Timur. Mereka ini tergolong orang-orang ‘terbuang’ yang umumnya sudah dilupakan keluarganya sendiri. Hanya satu dua yang masih dijenguk oleh orang tuanya. Ketika sudah tinggal di Bhakti Luhur, “Mereka otomatis menjadi anak-anak kami. Habis, selama 24 jam kami tinggal bersama mereka, memperhatikan semua kebutuhan mereka,” papar Tina seraya tersenyum.

Mengasuh Yeni dan kawan-kawan, dengan kelainan fisik, psikis, motorik, dan mental, jelas memerlukan kesabaran ekstra. Bagaimana tidak. Hampir setiap malam, anak-anak tertentu punya ‘hobi’ membuang benda apa saja di atas tempat tidur. Bantal, guling, seprei, bahkan kasur pun dibuang ke mana saja. Kalau sudah begitu, para perawat harus cepat-cepat bangun untuk mengamankan si anak yang ngamuk.

Untung saja, sampai sekarang mereka belum sampai iseng dengan peralatan listrik di kamarnya. “Mudah-mudahan janganlah. Bahaya kalau sampai terkena listrik,” kata Tina, yang lahir di Nusa Tenggara Timur, 22 April 1982 ini.

Yang menarik, meski kondisinya jauh dari normal, anak-anak di BHAKTI LUHUR sangat doyan menonton televisi. Acara apa saja dilahap, entah goyang dangdut, siaran berita, sinetron, dan sebagainya. Tak heran, ketika saya menghalangi pandangan mereka ke televisi, anak-anak itu mengerutu dengan gayanya masing-masing.

Yah, televisi memang hiburan utama mereka, di samping kunjungan keluarga atau masyarakat setiap hari Minggu kedua dan keempat. (*)

diambil dari:
http://hurek.blogspot.com/2006/12/bhakti-luhur-sidoarjo.html

Bhakti Luhur Sidoarjo

Greyed out hair. Skin wrinkles. Fragile physics. Wheel chair. These are the daily views in Bhakti Luhur, Sidoarjo. This social institution is located in Wisma Tropodo, Waru – Sidoarjo.
Bhakti Luhur is founded by Father PROF. DR. PAUL H. Janssen, C.M., and nurtured by the nuns of ALMA.
Father Janssen felt that he needed to ‘expand’ to Surabaya and its surrounding area, because Bhakti Luhur center in Malang has already too crowded. Foster children in Malang were at least 1.200 in 2006 and growing.
The first obstacle to start Bhakti Luhur in Sidoarjo was the availability of facilities and infrastructure. Praise the Lord, the surrounding community were moved to contribute, so the orphanage was able to be built and survive until now. Sidoarjo regent was then officially opened the house for service. This broke the rumor of “Christianization” in Sidoarjo.
In 2004, Bhakti Luhur was awarded an award by the Social Ministry, Bachtiar Chamzah who also happens to be a member of Partai Persatuan Pembangunan (a puritan Islamic party) on the National Day of disabled People in Surabaya. The award tells that the government acknowledges Bhakti Luhur’s consistent effort in serving people who sometimes “banished” by their own family and community.
Bhakti Luhur Sidoarjo holds three main services: for the elders, disabled children and the orphans. When I took a visit to Bhakti Luhur recently, an old nun and a grandmother greeted me. The old grandmother introduced herself as Maria Margareta Rokayah, or known as Grandma Maria. She was born in Solo, 53 years ago. She then told her story until the day she became the house resident.
“Previously, I was a government employee in Samarinda, working as a clerical staff in one of the government schools. One day, I had a motor accident and I needed to be taken care of in Cipto Mangunkusumo hospital in Jakarta. I was treated outpatiently for seven months, including an alternative reflexology.”
“After recovering, I went back to Borneo, working again in the same place. However, in 2001, after playing ping-pong and lift the table, my waist hurt. I went straight to the doctor and the doctor gave the medicine for waist ache.”
“Probably due to the medication, my vision went blurry day by day. The doctor said that I got cataracts. I went back to Cipto Mangunkusumo hospital but still I didn’t get healed.”
Grandma Maria has no core family. She only has one nephew. On the assistance of the MASF sisters, she was sent to Bhakti Luhur.

“I was warmly welcomed by the elder friends, and nurses. The joy I have with my friends comforts me and makes me feel like they are my own family. However sometimes, as a human being I also annoyed by some friends and nurses behavior. But generally, their service is satisfying”

Just like other residents, Grandma Maria is also busy doing routines. Daily meal, learning braille, music and also various skills. Grandma Maria always remembers to pray and stay close to the Father in Heaven. She has a special expertise not every resident has, massage. She hopes as soon as leaving the house she can be a professional masseur.

When holidays come, Grandma Maria went to her city of birth to stay with the rest of her family. For youth these days, Grandma Maria says “Live this life the best way possible”.

I also had a brief talk with Maria Margaretha Haryani or Grandma Haryani (63 years). Since the dead of the rest of her family, she moved with her sister. But because of different beliefs and church activity, she moved to Bhakti Luhur on June 4, 2002.

She does not feel abandoned by her family because they still pay her a visit each month.

“Every day I go to church. I am also devoted in the Divine Mercy devotion and the Legion of Mary, “said Grandma Haryani. Her daily activities include: Mass in the morning, morning exercises, breakfast, helping those who are already very old in the community and playing kulintang.

Sister Christina, Bhakti Luhur Sidoarjo superior explained that the elders are mostly not maried and have no core families left. “We also take care of them who are unable to take care for themselves and need to be taken care of. Such as elders with stroke or other diseases which untreatable by their family.”

“If someone with no family died, they will be our responsibility. For those with families, we will return them to their family.”, sister Christina added.

Since founded in 1996, the house has become a shelter for lots of elders. According to March 2006 data, there were 90 elders served with love in Bhakti Luhur. They’re divided into four homes: Wisma Kartini, Wisma Marta, Wisma Maria, Wisma Therese. Each home has a matron in charge. One room is occupied by three elders coupled with a nanny.

What about the house’s operational cost?

“We live from donations. Those four homes were built also on donations. We do not have any money.” Said sister Christina who already served in Bhakti Luhur for 13 years.

In a clean and board room, Kristina Malo is taking care of eight children patiently. These children cannot speak and their movements seem odd. One is struggling he nearly fell off the chair.

One child is crawling and yelling to draw Kristina’s attention and wanted to get out of the room. “No! I’ll get you some delicious cookies.” Said Tina to prevent the child going out of the room.

In the middle of the room, another red dressed child is rolling on the floor. Tired of lying, the child tried to sit, but failed. “There are various syndromes here. Each must be taken care with specific treatment.”, explained Tina.

The most common syndrome is epileptic. Four children suffers this. Another syndrome is CP Flopy and CP Spasfik. Both are cause by severe defect in the bone and joints. These syndrome make the bearer look like a boneless heap of meat. The suffer will not be able to carry even the lightest items. If they insist on trying, they will have seizures and need someone else to help them.

Where are these children come from?

In accordance with “Bhakti Luhur” name, the institution serves people regardless of their ethnic background, religion, race, ethnicity and origin.

They all come from almost all regions of Indonesia. “For example, Yeni is form Irian Jaya,” Tina said, pointing to dark-skinned foster children.

There are others from Maluku, Celebes, Surabaya, Malang and other cities in East Java.

Ada lagi yang dari Maluku, Sulawesi, Surabaya, Malang, dan beberapa kota lain di Jawa Timur. Most of them are “wasted” or “forgotten” by their own family. Only one or two are still being visited by their family. The day they started to live in Bhakti Luhur, “they automatically become our children. We live with them 24 hours a day and take care of their needs.”, Tina explained with a smile.

Taking care of Yeni and her friends, children with physical, psychological, motor, and mental abnormalities clearly requires extra patience. Almost every night, certain children throw anything on their bed. Pillows, bolsters, bed sheets, even the mattress were thrown everywhere. In that case, the nurses must hurry to handle the situation.

Luckily, there’s no accident involving electricity up to this moment. “Let’s hope that won’t happen. It will be dangerous if they play with electricity.” said Tina, who was born in East Nusa Tenggara, April 22nd 1982.

Interestingly, although their conditions are far from normal, the children of Bhakti Luhur are hooked in watching the television. They’ll watch every show, dangdut music, news, soap operas, and so forth. No wonder, when I was blocking their view to the television, the children were complaining with their own expression.

Well, television is their main entertainment, in addition to the visiting family or the public every second and fourth Sundays.

Taken from: http://hurek.blogspot.com/2006/12/bhakti-luhur-sidoarjo.html

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *