Indonesia – English
Rekan rekan milis yang dikasihi Kristus
juni 05 ,2007
Berikut ini saya kirimkan sebuah berita menarik yang berhasil di liput oleh Kantor Berita Katolik Asia (UCAN) dari daerah perbatasan Timor Leste tepatnya di Atambua (NTT) mengenai karya-karya amal kasih yang diberikan oleh para suster awam (Bhakti Luhur) kepada anak anak cacat di keuskupan Atambua.
Lewat tangat-tangan kasih pelayanan suster-suster awam (Bhakti Luhur) dan dengan segala keterbatasan yang ada, para suster Bhakti Luhur dengan penuh perhatian dan kasih sayang serta pengorbanan tak kenal lelah para suster Bhakti Luhur merawat, mendidik, membimbing dan membina anak-anak anak-anak cacat di daerah perbatasan dengan Timor Leste.
Dalam berita ini terungkap bahwa, akibat kekurangan dan keterbatasan yang dimiliki para suster Bhakti Luhur dengan terpaksa harus meminjam beras kepada pengusaha setempat untuk dapat memberi makan anak-anak cacat di panti yang mereka bina. Kurangnnya bantuan dari Bhakti Luhur pusat dan Gereja serta pemerintah setempat menyebabkan para suster kerap menghadapi berbagi kesulitan terlebih dalam hal makan bagi anak-anak cacat binaan mereka. Oleh karena itu, Suster Dadas selaku pimpinan Bhakti Luhur di keuskupan Atambua sangat mengharapkan bantuan dari gereja (umat awam) dan semua pihak untuk membantu mereka demi suksesnya karya dan pelayanan mereka bagi anak-anak cacat di keuskupan tersebut.
Rekan-rekan milis, adakah diantara kalian yang tersentuh untuk memberikan bantuan kepada sesama (anak-anak panti asuhan binaan para suster awam Bhakti Luhur di keuskupan Atambua). mereka sangat membutuhkan uluran tangan dan bantuan dari rekan-rekan sekalian.
Demikian berita dari perbatasan Timor Leste. Selamat membaca.
Syalom
Vitalis
=======================================
KEKURANGAN TIDAK MENGHAMBAT MISIONARIS AWAM UNTUK MERAWAT ORANG CACAT
ATAMBUA, NTT (UCAN) —
Enam anak cacat berusia 5 hingga 10 tahun sedang bermain di sebuah kamar terapi di sebuah panti yang dikelola oleh Asosiasi Lembaga Misionaris Awam (Bhakti Luhur). Beberapa sedang berteriak, beberapa sedang tertawa. Sementara lainnya sedang memeluk anggota Bhakti Luhur.
“Inilah kehidupan kami bersama anak-anak cacat di sini,” kata Suster Elda Dadas kepada UCA News 26 Mei di kediaman Bhakti Luhur di Atambua, ibukota Kabupaten Belu.
Umat Katolik memanggil anggota perempuan Bhakti Luhur dengan sebutan “suster,” seperti mereka memanggil biarawati Katolik. Meski mereka tidak mengucapkan kaul secara resmi seperti kaum religius atau mengenakan jubah, mereka membuat komitmen yang sama yakni hidup selibat, hidup dalam kemiskinan, dan hidup dalam ketaatan dalam memberikan pelayanan. ALMA juga memiliki anggota laki-laki, namun tidak di panti yang terletak di Atambua tersebut.
Di dalam ruangan seluas 30 meter persegi itu terdapat sebuah televisi 14 inch yang terletak di atas lemari, sebuah meja kayu, dan sejumlah kursi. Di dinding berwarna putih menggantung gambar Yesus, Bunda Maria, dan St. Vincentius, serta sebuah foto Pastor Paulus Hendrikus Janssen CM, pendiri Bhakti Luhur, yang sedang menggendong seorang anak.
Kamar itu adalah salah satu dari tiga kamar terapi di panti Bhakti Luhur di Keuskupan Atambua. Panti yang dibangun tahun 1996 di atas lahan seluas 1,5 hektare milik keuskupan itu juga memiliki tujuh kamar tidur, sebuah ruang makan, dan sebuah dapur. Halaman belakang adalah kebun untuk menanam sayur.
Lima suster Bhakti Luhur merawat 19 orang cacat berusia 5-22 tahun. Sekali dalam seminggu para misionaris perempuan itu juga mengunjungi 46 anak cacat lain dari berbagai agama yang tinggal bersama keluarga mereka di desa-desa sekitar. Para misionaris perempuan itu biasanya mengendarai ojek (alat transportasi yang menggunakan sepeda motor).
Anak-anak yang menderita cacat serius, yang keluarganya tidak bisa merawat sendiri, khususnya mereka yang buta, tuli atau tidak bisa berjalan, dibawa ke panti Bhakti Luhur.
“Kami ingin mendidik mereka supaya di kemudian hari mereka bisa mandiri dan berusaha sendiri,” kata Suster Dadas.
Para misionaris itu memberi terapi bicara dan terapi belajar bagi anak-anak muda tersebut dan mengajarkan kepada mereka tentang cara berdoa dan bernyanyi serta cara menanam sayur-mayur dan cara mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Mereka juga melatih orang-orang buta untuk membaca dengan menggunakan Braille.
“Kami juga ingin menjadi ‘ibu’ bagi mereka, supaya mereka juga merasa memiliki ‘orangtua’ di panti ini,” kata Suster Dadas. Ia masuk Bhakti Luhur tahun 1998 dan bergabung dengan panti itu lima bulan lalu setelah berkarya di Blitar, Propinsi Jawa Timur.
Namun, pelayanan para suster itu tidak selalu berjalan dengan lancar.
“Kalau sudah tidak ada uang, kami berhenti sesaat,” kenang misionaris itu. “Seringkali kami ‘meminjam’ dua karung beras dari seorang pengusaha sebelum kami mendapat kiriman dana dari pusat.”
Kantor pusat Bhakti Luhur di Malang, Jawa Timur, mengirim sekitar 2 juta rupiah setiap bulan ke panti di Atambua tersebut.
“Ini tidak cukup. Biasanya setiap bulan kami menghabiskan uang 2 juta rupiah untuk membeli makanan dan minuman. Namun masih banyak yang harus kami beli,” jelas Suster Dadas. “Sangat jarang sekali ada bantuan dari Gereja dan pemerintah.” Di panti di Blitar, katanya, paroki dan pemerintah setempat memberi sumbangan setiap bulan. “Tetapi di Belu ini, kami sangat jarang mendapat bantuan.”
Kekurangan sumber dana semacam ini tidak menghambat anggota Bhakti Luhur untuk melanjutkan misi mereka. “Memang ini sesuatu yang berat, namun kami sudah biasa menjalankannya,” tegas Suster Dadas. Namun, ia tetap mengharapkan bantuan dan kerjasama dari Gereja dan pemerintah setempat.
Pastor Janssen mendirikan Bhakti Luhur di Madiun, Jawa Timur, pada 27 September 1960. Anggota Bhakti Luhur mengikuti spritualitas Vincentius. Mereka merawat anak-anak cacat dan berkarya di bidang pendidikan, kerasulan keluarga dan awam, dan evangelisasi, khususnya di daerah-daerah terpencil.
Saat ini Bhakti Luhur memiliki 20 komunitas di Keuskupan Amboina, Keuskupan Atambua, Keuskupan Agung Ende, Keuskupan Agung Jakarta, Keuskupan Larantuka, Keuskupan Malang, Keuskupan Agung Pontianak, Keuskupan Agung Semarang, Keuskupan Sintang, Keuskupan Surabaya, dan Keuskupan Weetebula.
-END-
diambil dari:
http://groups.yahoo.com/group/SantoThomas_Kelapa2/message/3034
NOTHING CAN STOP LAY MISSIONARIES TO SERVE THE DISABLED, ATAMBUA, NTT (UCAN)
Six children with disabilities from the age of 5 to 10 were playing in a therapy room in an orphanage run by the Association of Lay Missionary Institute of Bhakti Luhur. Some were yelling, some were laughing while others were hugging Bhakti Luhur volunteers.
“This is how we spend life with the disabled children here,” said Sister Elda Dadas told UCA News, May 26th at Bhakti Luhur residence in Atambua, the capital of Belu district.
The Catholics called Bhakti Luhur female members as “sisters,” as they called the Catholic nun. Although they do not officially vow for any religious congregations or wear religious robes, they have the same commitment to live a celibate, in poverty and in obedience life of providing services. ALMA also has male members, but not in the institution in Atambua.
In a 30 meters square room lies a 14-inch television on top of a cupboard, a wooden table, and a number of chairs. On the wall, there are picture of Jesus, Virgin Mary, and St. Vincent, as well as a photo of Father Paul Hendrikus Janssen CM, founder of Bhakti Luhur, holding a child.
The room is one of three therapy rooms in Bhakti Luhur, diocese of Atambua. The nursing house built in 1996 on an area of 1.5 hectares and owned by the diocese has also seven bedrooms, a dining room and a kitchen. The backyard is used as a garden to grow vegetables.
Five sisters in Bhakti Luhur treat 19 people with disabilities in the age between 5 to 22 years old. Once a week they also visit other 46 disabled children from different religions who live with their families in surrounding villages. They usually ride an ojek (a motorcycle taxi).
Children who suffer from serious disabilities especially those who are blind, deaf or unable to walk, whose families cannot provide treatment were taken to a nursing at Bhakti Luhur.
“We want to educate them so that in future they can become independent and self-employed,” said Sister Dadas.
The missionaries gave speech therapy learning for those children and teach them how to pray, sing, grow vegetables and how to do housework. They also train the blind to read by using Braille.
“We also want to be a ‘mother’ to them, so they also feel a ‘parent’ in this institution,” said Sister Dadas. She joined Bhakti Luhur in 1998 and has been in the orphanage since five months ago, after serving in Blitar, East Java Province.
However, the ministry of the sisters does not always run smoothly. “If there is no money, we stopped for a moment.” recalled the missionaries. “Often we ‘borrow’ two sacks of rice from a businessman before we got funds from the head office.”
Bhakti Luhur head office in Malang, East Java, sends about 2 million rupiah a month to the orphanage in Atambua.
“It’s not enough. Usually every month we spend two million rupiah to buy food and drinks. But still we have much to buy.”, said Sister Dadas.
“Help from the Church and government is very rare.” In Blitar, she said, parishes and local governments contribute every month. “But in Belu, we very rarely get any help.”
The lack of financial resources does not inhibit the members of Bhakti Luhur to continue their mission. “It is something heavy, but we’ve used to it,”said Sister Dadas. However, she still expects the assistance and cooperation of the Church and local government.
Father Janssen found Bhakti Luhur in Madiun, East Java, September 27th, 1960. Members of Bhakti Luhur live the Vincentian spirituality. They care for children with disabilities and work in the field of education, family ministry and laity, and evangelization especially in remote areas.
Bhakti Luhur currently has 20 communities in the Diocese of Amboina, Atambua, Larantuka, Malang, Sintang, Surabaya, Weetebula, the Archdiocese of Ende, Jakarta, Pontianak and Semarang. -END-
Taken from:
http://groups.yahoo.com/group/SantoThomas_Kelapa2/message/3034