BERITA

KETIKA KASIH SAYANG TIADA BATAS

Merasa Minder, saat Malam Pertama Justru Nangis Bareng

14 Februari 2018

Disatukan karena perbedaan, saling mengasihi karena cinta. Kira-kira seperti itulah gambaran ketiga pasangan ini. Mereka yakni Adityanta Dani Darmawan-Dian Desty Wijaya, Hari Kurniawan-Meiry Kartika Yudiantim, dan Hendrykus Eko Novianto-Paulina Heny Yuliani seolah-olah ingin menyadarkan kita: Bangunan cinta bisa dibuat karena saling bisa menerima kekurangan.

Canda tawa seperti tidak pernah berhenti saat wartawan Jawa Pos Radar Malang menemui pasangan suami istri Adityanta Dani Darmawan, 26, dan Dian Desty Wijaya, 29, di rumahnya, Perumahan De Rumah, Kota Malang, kemarin (13/2). Misalnya, Aditya berseloroh saat dokter heran kalau Dian bisa hamil. Sikap heran itu muncul karena Dani adalah penyandang tunadaksa, sedangkan istrinya adalah perempuan nondifabel (tidak ada kekurangan pada tubuhnya).

”Saya jawab, kan saya manusia yang bisa menghamili orang, bukan gurita,” kata Dani disambut senyum mengembang dari istrinya.

Keluarga ini memang penuh canda tawa. Apalagi, profesi Dani adalah seorang stand-up comedian. ”Berkat Stand-Up Comedy, saya bisa dikenal dan mendapatkan penghasilan. Tidak hanya itu, saya juga bisa menemukan cinta sejati,” imbuhnya.

Setelah itu, dia melalui lika-liku cintanya. Semuanya berawal dari ajang pencarian bakat Stand-Up Comedy yang ditayangkan stasiun televisi swasta. Dia pun mulai dikenal masyarakat. Apalagi dia menjadi finalis dalam ajang itu. Hingga 7 April 2016 lalu, Dani dan istrinya bertemu untuk kali pertama.

”Dian saat itu menganggap saya tidak bisa lepas dari bantuan kursi roda. Jadi, dia kaget dan khawatir waktu tahu saya berjalan digandeng seseorang,” imbuh pria kelahiran 17 November 1991 ini.

Berselang sebulan, komunikasi mereka berlanjut melalui media sosial Instagram. Puncaknya pada Juni 2016, mereka semakin intens berkomunikasi. ”Padahal, saat itu waktu Imsak lebih lama di Jakarta, tapi saya selalu mengingatkan dia biar tidak telat sahur,” katanya sambil tertawa.

Percakapan keduanya semakin akrab. Hingga pada 10 Agustus 2016, mereka memutuskan untuk berkomitmen pacaran. Dian menuturkan, saat itu pria yang kini jadi imamnya tersebut sempat curhat tentang kisah asmaranya. Wajar saja, dulu memang banyak perempuan yang menghina saat Dani mengutarakan perasaannya.

”Saya mikir dia (Dani) pasti masih trauma. Jadi, saya memutuskan untuk mengutarakan perasaan kali pertama kepadanya,” papar perempuan kelahiran 14 Desember 1988 itu.

Tepatnya pada 28 April 2017, pasangan ini umrah sekaligus menjalani akad nikah di Masjidilharam. Setelah resmi menjadi pasangan suami istri, Dani berkata jika belum siap memiliki anak. Dian menuturkan, saat itu suaminya khawatir jika anaknya nanti tidak bisa menerima kondisi orang tuanya.

”Jadi waktu malam pertama, kami belum sempat berhubungan layaknya pengantin baru. Kami justru menangis bersama-sama,” kata Dian sembari tertawa.

Sementara itu, pasangan suami istri hebat yang lain adalah Hari Kurniawan dan Meiry Kartika Yudianti. Pria yang akrab disapa Wawa ini mengakui tidak mudah untuk mencari pasangan hidup bagi dirinya.

”Saya dengan keterbatasan (tunadaksa) seperti ini, rasanya sulit sekali dulu mencari jodoh,” ungkap pria berusia 40 tahun ini.

Menurut Wawa, dia baru berhasil menyunting Yudit, istrinya, pada 18 Februari 2017. Ada tantangan baru yang harus dijawab ketika setelah menikah. Yakni, jarak yang memisahkan keduanya. Wawa mempunyai pekerjaan menjadi advokat publik di Kota Malang. Sedangkan istrinya bekerja di sebuah lembaga daycare di Bekasi, Jawa Barat. Hal inilah yang disebut Wawa menjadi tantangan pernikahannya setahun ini.

”Ini kan LDR (long distance relationship, Red) terus, kami bisa berbulan-bulan nggak ketemu. Padahal, pernikahan ini baru setahun,” terang pendiri LBH (Lembaga Bantuan Hukum) Rumah Keadilan tersebut.

Ketika kemarin ditemui koran ini, senyumnya semringah. Matanya pun berbinar. Sambil memandangi foto istrinya yang dipasang menjadi wallpaper di ponsel Wawa. Dia bersyukur sang istri mau menerima kondisinya.

Sedangkan semangat untuk mencari pendamping hidupnya pun tiba ketika Wawa dikenalkan seorang temannya dalam sebuah acara bakti sosial di salah satu panti asuhan di Depok. ”Saya hanya ingin membuktikan ayat Allah tentang setiap orang sudah disiapkan pasangannya,” imbuh pria berambut ikal tersebut.

Untuk menjaga bahtera keluarganya, Wawa menerangkan jika komunikasi merupakan salah satu hal yang terpenting dalam sebuah rumah tangga. Apalagi, aktivitasnya yang lebih sering mobile dari Malang, Lumajang, hingga Banyuwangi. Sebab, dia sering ditunjuk masyarakat untuk membantu penyelesaian hukum. Seperti di wilayah kawasan pertambangan emas Tumpangpitu, Banyuwangi.

Sikap bersyukur pun ditunjukkan pasangan Paulina Heny Yuliani dan Hendrykus Eko Novianto. Mereka dipersatukan dalam satu balutan cinta. Paulina adalah penyandang tunadaksa, sedangkan suaminya lelaki dengan fisik nondifabel yang mencintainya tanpa batas.

”Saya sangatlah kurang sempurna dibanding suami saya. Tapi, saya sungguh bersyukur, saya bisa melakukan banyak hal yang juga dikerjakan orang pada umumnya,” ujar Paulina mengawali kisahnya dengan sang suami.

Sebelum menjadi ibu rumah tangga, Paulina bekerja sebagai perawat di Kalbar (Kalimantan Barat) dan setelah beberapa tahun kembali ke Malang untuk bertugas di Wisma Dempo. Di Malang, dia akhirnya bertemu dengan Eko.

”Sebenarnya kami ini sekolahnya sama-sama di bawah satu yayasan Bhakti Luhur. Saya di SMPS (Sekolah Menengah Pertama Sosial) dan Bang Eko di Sekolah Menengah Pendidikan Pastorial-nya. Tapi, ketemunya ya pas sama-sama bekerja. Jodohnya sudah ada pas sekolah, tapi ketemunya waktu bekerja,” tambahnya.

Keduanya sama-sama bertugas sebagai perawat. Eko bertugas di salah satu yayasan di Sukun, sedangkan Paulina di Wisma Dempo. Mereka beberapa kali bertemu pada acara antarperawat se-Indonesia di Bhakti Luhur. Dari acara itulah, Eko mengaku menyimpan perasaan lebih kepada Paulina. Namun, dia tidak tahu bagaimana cara mengontak Paulina untuk kenalan lebih lanjut.

”Saya dikasih nomor handphone Paulina dari teman seasrama. Setelah kenalan agak lama, akhirnya saya tahu kalau teman saya itu mantannya Paulina,” ujarnya sambil tertawa.

Eko mengaku jatuh hati kepada Paulina selain karena manis, dia juga sangat sederhana dan penuh kasih sayang. ”Saya tidak peduli dia seperti apa. Kalau saya sayang dan saya cinta, biarlah Tuhan yang membantu saya dekat dengan pasangan saya,” imbuhnya.

Sementara Paulina sendiri mengaku tidak kenal Eko sama sekali saat itu. ”Kan teman saya yang namanya Eko banyak ya, jadi bingung kok suami saya ini tahu saya, tapi saya ga tahu dia. Setelah ketemu, ya saya ingat dia sih akhirnya. Ingatnya tapi tipis-tipis,” ujarnya sambil tertawa.

Paulina pun mengalami first love (cinta pada pandangan pertama) karena terpesona dengan tatapan Eko. ”Saya suka matanya yang lebar. Saya jatuh hati pada pandangan pertama dan yang saya suka dia itu cuek, gak malu jalan sama saya. Itu yang bikin saya cinta sama dia,” ujar Paulina malu-malu.

Perkenalan mereka berlanjut hingga menyandang status pacaran pada 1 Agustus 2010. ”Saya ingat pukul 03.00 WIB kami jadian. Kami pacaran layaknya orang yang lagi jatuh cinta. Setelah itu kami juga berbicara kekurangan kami masing-masing,” ujar Paulina menjelaskan.

Paulina sendiri menceritakan lika-liku percintaan mereka yang mendapat pertentangan dari kedua orang tua angkat mereka. ”Saya memahami betul kenapa Mama-Papa kami menentang. Tapi, kasih Tuhan begitu indah. Kami saling mencintai dan memutuskan menikah,” tambahnya.

”Ada kesedihan juga pas mau menikah, ketika kami bercerita banyaknya kesulitan kepada (alm) Romo, tiba-tiba beliau bilang kepada saya. Menikahlah, saya ingin melihat kalian menikah sebelum meninggal,” ujar Paulina.

Berbekal restu dari (alm) Romo Prof Dr Paulus Hendrikus Janssen CM, mereka menikah didampingi suster Christina Ginah dan suster Saxeria di Gereja Lely pada 17 Agustus 2014.

”Kalau orang tua dari suami, akhirnya merestui kami. Tapi, Mama (ibu angkat Paulina) datang pas hari pernikahan. Akhirnya merestui kami menikah,” pungkasnya.

Pewarta: NR1, NR2, Ashaq Lupito
Penyunting: Irham Thoriq
Copy editor: Dwi Lindawati
Foto: Falahi Mubarok

sumber berita:
http://www.radarmalang.id/ketika-kasih-sayang-tiada-batas/

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *