BERITA

Lidwina Rosmawaty, Mengabdi Dengan Hati

Diterbitkan pada Selasa, 07 Mei 2013 06:58 | Ditulis oleh Athurtian |

Sinar mentari pagi mencerahkan kota Depok. Hiruk pikuk kehidupan kota Depok nampak mulai ramai. Kemacetan dan antrian di loket bagian kependudukan kota Depok mulai nampak. Saat itu tim diffa berkesempatan menemuinya di sekitar Kantor Walikota Depok. Lidwina Rosmawaty, sosok yang menjadi cahaya bagi anak-anak penyandang disabilitas di Kelurahan Curug, Kota Depok.
Lidwina Rosmawaty R, lahir 9 Oktober 1976. Ros panggilan akrab Rosmawaty. Masa kecilnya yang suka berpergian ke suatu tempat, membuat Ros senang dengan kegiaatan yang berbau sosial. Desa kecil di wilayah Samosir memiliki kenangan sendiri bagi wanita satu ini. Menggembala kerbau dan mengikuti minggu gembira selalu dilakukannya ketika waktu kosong menghampiri.
Ayahnya Tanjung Romahorbo dan Ibunya Rianim Gultom keduanya berasal dari Desa Sitamiang, Onan Runggu, Pulau Samosir, Medan, Sumatra Utara. Anak ke-8 dari 9 bersaudara ini menjadikan sosok ibunya sebagai inspirasi untuk terus bergerak dibidang sosial. “Ibu saya memang tidak berpendidikan tingggi, namun saya selalu diasah dengan nilai-nilai kebaikan” kenangnya.
Masa SMA Ros yang masih mencari jati diri, membuatnya sempat galau untuk melanjutkan pendidikannya. Ros akhirnya memutuskan untuk merantau ke Jakarta untuk bekerja dan kuliah. Namun, sisi lain yang dia lihat membuatnya merasa lebih tertantang.
Ros melihat seorang rohaniawati yang mengabdikan dirinya ke masyarakat sekitar. Rasa penasaran yang menghinggapi perasaan Ros. Menggugah untuk mengikuti kegiatan rohaniawati tersebut. Rasa heran sempat menghinggapi dirinya, melihat rohaniawati tersebut tidak nampak seperti biasanya.
Suster Alma ialah rohaniawati yang menjadi sosok yang dikagumi Ros. Suster Alma kemudian mengajak Ros untuk berbagi di daerah Jembatan Tiga, Jakarta. Ros terhening kagum. Suster Alma yang hidup di asrama dengan mendapatkan fasilitas yang cukup. Namun, rela terjenun ke tempat yang kumuh tempat anak-anak buruh yang tidak bekerja.
“Saya pernah di ajaknya ke Jembatan Tiga, dahulu tempatnya sangat kumuh. Dia rela mengubah penampilannya sama seperti mereka. Namun, di sana saya banyak belajar bagaimana mengajarkan pengamen tata krama dan mendidik mereka supaya pintar.” kenangnya.
Suster Alma pun mengajak Ros untuk ikut bersamanya di Yayasan Bhakti Luhur. Yayasan Bhakti Luhur adalah yayasan sosial yang memberi perhatian kepada para penyandang disabilitas dari keluarga miskin, terlantar dan terpinggirkan.
Suster Alma selalu mengajarkan Ros untuk terus berbuat kebaikan. “Dia suster tapi gak malu untuk memperjuangkan hak-hak buruh ketika itu. Jangan sampai orang lain menghargai kita hanya karena jubah mu” kenang Ros mengingat nasehat Suster Alma.
15 tahun Ros bergabung di Yayasan Bhakti Luhur. Membuatnya semakin yakin untuk mengabdikan diri ke masyarakat. Meskipun di Bhakti Luhur para suster dididik untuk bisa memiliki keahlian seperti guru, juru masak, dan pelayan masyarakat. Rehabilitasi Berbasis Masyarakat merupakan salah satu program unggulan dari Yayasan Bhakti Luhur.
Lewat program unggulan Yayasan Bhakti Luhur Ros diberikan kepercayaan untuk membina, menangani, dan menaungi keluarga-keluarga penyandang disabilitas/difabel yang ada di wiliyah Ciputat dan Depok. Tim diffa yang pertama kali mengikuti kegiatan Ros di daerah Kelurahan Curug, Kota Depok dalam kegiatan rutin yakni pertemuan keluarga penyandang disabilitas Kelurahan Curug. Tim diffa melihat keakraban dan suasana kekeluargaan yang diperlihatkan masyarakat sekitar ketika bertemu Ros. Suster Ros sapaan akrab keluarga dan kader-kader program RBM.
Kesadaran masyarakat Keluruhan Curug, Kota Depok masih minim informasi tentang penanganan anak-anak penyandang disabilitas. Suster Ros akhirnya memberikan informasi bagaimana menangani anak-anak penyandang disabilitas. Dengan misi dari RBM yakni rehabilitasi yang berbasis masyarakat, di mana Suster Ros hanya memberikan contoh kecil penanganannya dan keluarga penyandang disabilitas yang meneruskan dan mengembangkannya.
“Kebanyakan di masyarakat kita cenderung memikirkan bagaimana penangananya, sebenarya itu salah. Misalkan ada yang sakit TBC, justru yang dicari obatnya. Seharusnya kita deteksi dulu kenapa bisa TBC apa karena lingkungannya atau karena apa.” ceritanya.
Alumni Universitas Adibuana Surabaya tahun 2000 Jurusan Pendidikan Luar Biasa ini mengerti bahwa perjuangan yang dilakukan masih panjang dan penuh lika liku. “Orang selalu berpikir takut ada kristenisasi, saya memang bukan muslim. Padahal ini murni misi kemanusiaan tanpa ada unsur politik, SARA, dan kebudayaan” ujarnya tegas.
“Sebenarnya mereka hanya butuh perhatian kecil seperti menyapa mereka dan memberikan bantuan rutin untuk mereka” tambahnya. Kepedulian yang masih Suster Ros berikan, menjadi hal sederhana yang seharusnya bisa kita lakukan.
Pendekatan-pendekatan yang dilakukan Suster Ros merupakan pendekatan sederhana. Memulai dengan pendekatan secara keluarga, pemahaman serta edukasi untuk keluarga supaya memahami bagaimana cara penanganan anak mereka yang difabel.
Suster Ros hanya ingin bisa mewujudkan pemenuhan hak-hak terhadap penyanangdisabilitas. “Hak-hak anak cacat harus diperhatikan dengan sungguh-sungguh oleh pemerintah. Harus ada posko-posko di tiap wilayah yang melayani penyandang disabilitas.” ujarnya dengan harap.
(Rubrik Sosok Diffa Online 2013)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *