05/10/2012 CBR
Anak berkebutuhan khusus atau anak cacat adalah kelompok marjinal paling rentan terhadap perlakuan diskriminatif baik di lingkungan keluarga maupun di masyarakat. Mereka diabaikan dan dianggap tidak berguna bahkan mempermalukan keluarga. Lima tahun lalu, komunitas Susteran ALMA hadir membawa secercah harapan bagi mereka melalui metode CBR (Community Based Rehabilitation) atau RBM (Rehabilitasi Bersumberdaya Masyarakat). Dengan metode kunjungan lapangan, anak-anak berkebutuhan khusus tersebut mendapat perhatian dan penanganan khusus dari para suster dan petugas lapangan yang sudah berpengalaman. Untuk mendukung kegiatan kemanusiaan ini, Caritas Keuskupan Sibolga menjalin kerjasama dengan komunitas Susteran ALMA sejak Januari 2012 sampai Juli 2014 yang didanai oleh Caritas Italiana. Proyek ini mencakup wilayah Sirombu, Mandrehe, Mandrehe Utara, Moi, Binaka, Gido, Idanogawo, Bawolato, Tuhemberua, Hiliduho, Namohalu Esiwa, Lahewa, dan Lahewa Timur dengan 113 anak sebagai kelompok sasaran dan kemungkinan untuk bertambah lagi.
Divisi Komunikasi CKS berkesempatan untuk mewawancara Sr. Yasinta, ALMA, manajer proyek CBR, belum lama ini. Berikut petikannya:
Apa itu Community Based Rehabilitation (CBR)?
CBR adalah dari, oleh, dan untuk masyarakat; istilah konkritnya diartikan sebagai guru kunjung. Artinya, anak-anak tidak harus tinggal di wisma atau panti tetapi harus tetap tinggal di keluarga sebagai penanggungjawab utama. Selain itu masyarakat juga diberi pengertian tentang keberadaan dan kebutuhan anak-anak yang berkebutuhan khusus ini.
Metode kerjanya seperti apa?
Kami memiliki petugas lapangan (PL) yang tinggal langsung di komunitas dan para suster yang selalu mengunjungi. PL menganalisa kebutuhan khusus yang perlu diberikan kemudian dibuatkan program kegiatan dan terapi yang cocok untuk anak yang bersangkutan. Setiap anak memiliki program kegiatan sendiri-sendiri tergantung jenis dan tingkat kecacatannya, misalnya anak dengan kekakuan pada tangan dan kaki diberikan fisioterapi atau anak bisu tuli diberikan latihan supaya bisa mengerti apa yang dikatakan orang lain melalui bahasa bibir. Program ini tidak hanya fokus kepada si anak tetapi juga kepada orangtua seperti pemberian modal usaha untuk pemeliharaan babi, membuka kedai, dll untuk mendukung kebutuhan si anak dan juga meningkatkan ekonomi keluarga. Demikian juga orangtua perlu diberi pemahaman bahwa anak-anak mereka tidak seharusnya disembunyikan karena malu dengan kondisinya tetapi menerima dan memperlakukan mereka sama seperti anak-anak normal lainnya.
Apa yang ingin diraih oleh proyek ini?
Dengan visi ‘Menjangkau yang tak terjangkau’, kami berharap bisa mengangkat martabat hidup orang-orang cacat yang ada di wilayah kepulauan Nias. Selain itu, kondisi hidup mereka bisa lebih baik karena walaupun mereka cacat namun mereka juga sama seperti kita yang ingin dihargai dan diperlakukan dengan baik sebagai manusia.
Apa pencapaian yang sudah diraih hingga saat ini?
Jumlah difabel yang didampingi semakin bertambah
Penerimaan orangtua terhadap kondisi anak yang berkebutuhan khusus mulai menunjukkan hasil positif.
Sebagian anak yang cacat secara fisik setelah diterapi mulai menunjukkan perubahan positif walaupun belum 100%
Income generative yang yang sudah mulai berjalan.
Ke depan, kami berharap kesejahteraan anak-anak cacat bisa direalisasikan mulai dari hal-hal yang sederhana terlebih dahulu.
Apa yang mendorong suster untuk melakukan pekerjaan yang sarat tantangan ini?
Lebih kepada rasa kemanusiaan dan keprihatinan. Saya tidak bisa duduk tenang kalau tidak melakukan sesuatu untuk mereka. Rasanya lebih baik saya tinggal dirumah saja seharian daripada melihat mereka yang menderita tetapi tidak berbuat sesuatu yang bisa menolong mereka. Ini kemudian menjadi beban yang harus segera dicari solusinya.