BERITA

Natal dan Sukacita Berbagi

Walaupun hari Natal telah lama lewat, aku ingin berbagi pengalamanku yang sangat berharga ini kepada teman-teman semua…

Hari itu, malam Natal. Kotbah sang Pastor di gereja begitu menancap di pikiranku,”Malam ini adalah malam yang paling indah bagi kita semua. Malam dimana dari sebuah kesederhanaan akan tercipta kedamaian dan keselamatan besar, sukacita tak terhingga. Inilah saatnya kita bersolider dengan sesama, menciptakan harmonisasi di tengah dunia…” Setengah jam berlalu, dan sang Pastor menyudahi kotbahnya dengan kata-kata: jadilah berkat bagi sesama. Biasa, hal yang sudah sering aku dengar.

Pagi itu, hari Natal. Aku bangun jam 5.30 dan naik ke travel yang menjemputku untuk pulang ke Kediri. Akibat rasa kantuk yang masih amat sangat, aku melanjutkan tidurku di travel sampai akhirnya tiba di rumah jam 9.45. Badan dan pikiran belum 100% sadar, Mama menyambutku dengan kata-kata, ”Nanti jam 1 ikut Mama dan teman-teman ke Bhakti Luhur, ya!” Lalu Mama yang aktif berkegiatan di gereja itu segera membeberkan rencana kegiatannya. Aduh, ingin rasanya aku menolak ikut dan memilih untuk tidur saja karena badanku masih capek. Tapi tunggu, tidur siang di hari Natal??? Aku rasa itu tidak indah sama sekali. Oke lah, aku ikut!

Jam 1 siang, mobil yang mengangkut rombongan kami berangkat. Tujuan pertama kami adalah ke Panti Asuhan Bhakti Luhur. Teman-teman yang beragama Katolik pasti tahu Romo Paul Janssen, romo dari Belanda yang memprakarsai terbentuknya panti asuhan khusus anak-anak berkebutuhan khusus, miskin, dan terlantar itu. Sekitar 30 menit perjalanan dari kota, melewati kelok-kelok hutan yang sejuk, tibalah kami di Dusun Kalibago, Desa Kalipang, Kecamatan Grogol, Kabupaten Kediri; tempat panti asuhan tersebut berada. Kami segera menurunkan bingkisan-bingkisan kecil untuk dibagikan kepada anak-anak di sana dari mobil.

Ucapan ’Selamat Natal’ dari Suster Brigitta dan Suster Magdalena menyambut kami dengan ramah. Agaknya kami tiba terlalu cepat, karena pada saat itu anak-anak sedang tidur siang. Lalu dua suster tersebut menemani kami berbincang di ruang tamu, menceritakan asal-usul anak-anak kurang beruntung yang dirawat di sana. Di sela-sela berbincang, muncullah Yusuf, anak yang cacat pada tangan dan kakinya tersebut selalu tidak bisa tidur siang. Saat ada tamu seperti kami, dia segera aktif dan ikut duduk. Yusuf yang awalnya seorang pengamen jalanan dari Jakarta tersebut ditemukan ”terdampar” di kota Pare sebelum akhirnya dibawa orang dan diserahkan ke sana. Banyak anak yang tak lagi diinginkan oleh orang tua ataupun keluarganya dan tidak pernah dijenguk. Di sinilah para suster dan perawat mencurahkan cinta kasih, tenaga, dan doanya untuk mereka.

Jam setengah 3 sore, anak-anak dibangunkan dari tidur siangnya lalu dimandikan. Di sana ada kurang lebih 6 orang perawat yang mengasuh 18 anak dengan bermacam jenis kecacatan. Ketika melihat mereka keluar menuju ruang tamu, timbul perasaan was-was dalam diriku. Aku sudah pernah mengunjungi panti asuhan ini beberapa tahun lalu, namun kali ini aku melihat banyak ”anak baru” yang tidak aku lihat sebelumnya. Anak autis yang  tidak dapat ditebak kelakuannya: kadang anteng, tetapi seketika dapat berubah menjadi agresif; anak keterbelakangan mental yang menatapku dengan pandangan aneh, anak yang suka berteriak dan berlari tak terarah, namun kebanyakan adalah anak down syndrome dengan wajah ”khas”nya, mulut menganga dan air liur yang menetes. Benar-benar ”pemandangan” yang membuat hati trenyuh. ”Semoga mereka ga berbuat apa-apa padaku,” hanya itu doaku dalam hati.

Ketika bingkisan dibagikan, anak-anak tersebut sangat antusias dan gembira. Mereka segera berteriak, merobek bungkus kue dan tak sedikit pula kue-kue itu bercerceran di lantai. Mereka memungutnya kembali, tak peduli betapa belepotan-nya mereka akibat kue itu. Beberapa anak memasukkan kue yang masih terbungkus ke dalam mulutnya. Awalnya ada perasaan jijik ketika harus mengambil kue berlumur air liur itu dari mulut mereka lalu membukakan bungkusnya. Setelah itu, salah satu anak down syndrome bernama Rizky itu menatapku dan tersenyum lebar, memperlihatkan mulutnya yang tanpa gigi. Ya Tuhan, hatiku terasa diguyur es, terharu akan kejadian itu. Mereka masih bisa mengucapkan terima kasih akan keberadaan orang-orang di sekitarnya.

Lama kami bergumul dengan anak-anak itu. Entah berapa kali tangan-tangan mungil yang berlumuran liur, kue coklat, dan gula-gula itu menarik-narik bajuku, lalu menggandengku menuju ruang tengah. Walaupun tidak dapat berbicara, lewat bahasa tubuhnya mereka mengajakku untuk duduk di lantai bersama mereka. Di ruang tengah terdapat televisi yang saat itu memutar karaoke lagu-lagu Natal. Mereka dapat menikmati alunan lagu dan bermaksud ikut menyanyi, walaupun suara mereka lebih serupa celotehan daripada nada. Tak lagi kuperhitungkan tanganku yang kotor dan tampaknya telah serupa dengan tangan mereka. Baju dan tangan bisa dibersihkan, tapi tak ada yang bisa menghapus kenangan akan binar-binar wajah mereka saat itu. Saat tiba waktunya kami pulang, senyum bahagia dan lambaian tangan mereka mengantar kami berlalu dari tempat itu.

Perjalanan kami belum selesai. Setelah dari Kalibago, kami menuju tengah kota Kediri, mengunjungi Panti Wredha yang berada di bawah yayasan gereja Santo Yoseph. Walaupun dinaungi oleh yayasan, ternyata panti wredha yang mampu menampung 28 orang nenek tersebut tidak dibiayai oleh gereja. Lalu darimana mereka mendapatkan biaya untuk operasional sehari-hari? ”Ya ada beberapa donatur, tapi itu tidak pasti. Tuhan Yesus yang akan mencukupkan. Kami percaya pada penyelenggaraan Illahi saja,” jawab seorang suster. Menurutku, sungguh cerminan iman yang luar biasa. ”Tiba-tiba saja, ketika kami membutuhkan, selalu ada orang baik yang membantu. Puji Tuhan sampai sekarang kami tidak kekurangan,” tambahnya disertai senyum. Hmm, aku percaya itu adalah sebuah bukti bahwa Tuhan sangat menyayangi umatNya.

Sama seperti di panti asuhan, kami juga membagikan bingkisan kecil berupa handuk dan kue kepada para nenek penghuni panti wredha itu. Memasuki ruangan tempat para nenek itu berkumpul, seketika aku disambut ”bau khas orang tua” yang mengingatkanku pada rumah nenekku sendiri. Hehehe… Nenek-nenek itu duduk rapi berjajar, dan ketika aku menyalami mereka satu persatu, wajah mereka menyiratkan sukacita seperti bertemu dengan keluarga sendiri. ”Terima kasih, selamat Natal, Tuhan memberkati, ya!” kata-kata dan genggaman tangan mereka memberikan semangat lebih untukku. Belum pernah aku merasa sangat dihargai seperti ini!

Selain nenek-nenek yang masih sehat, ada pula nenek yang buta, yang duduk di kursi roda, serta yang hanya bisa berbaring di tempat tidur karena sakit ataupun memang fisik mereka sudah tak mampu lagi. Semuanya dirawat dengan penuh cinta kasih oleh 4 orang suster dan 12 orang pembantu yang bekerja secara shift. Saat matahari terbenam, aku pulang dengan perasaan puas dan syukur yang luar biasa. Waktu yang singkat namun sarat makna. Aku mencoba menempatkan diriku di posisi mereka, lalu aku menyadari bahwa aku belum mampu menumbuhkan semangat dan iman layaknya para suster yang penuh pengabdian itu. Maksud sang Pastor mengungkapkan kalimat ”kesederhanaan akan mendatangkan sukacita besar, serta bersolider dengan sesama” kini telah aku rasakan. Terkadang aku menjalani duniaku sendiri, lalu lupa melihat sekeliling bahwa aku tidak sendiri saat menikmati indahnya hidup yang diberikan oleh Allah. Mereka yang kurang beruntung dan terabaikan itu ada, dan lewat berbagai tindakan ’sederhana’ dari orang-orang seperti kita, mereka dapat mengungkapkan rasa syukur yang sama. Kita diciptakan untuk berbagi hidup penuh kasih dengan mereka, dan betapa damainya hati saat dapat membahagiakan orang lain.

Thanks God. That’s Christmas.

sumber:

http://arzyjess.blogspot.com/2012/01/natal-dan-sukacita-berbagi.html

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *