BERITA

PAAC B L Cabang Waingapu: Mengembangkan Kemampuan Anak

Kamis, 25 Oktober 2012 15:51 WIB
HIDUPKATOLIK.com – Sekilas PA ini terlihat biasa saja. Baru setelah memasukinya, keistimewaan PA ini mulai kelihatan. Di sana terlihat anak-anak cacat, seperti tunarungu, tunadaksa, tunanetra, dan down syndrome.
Sambil memegang sebungkus biskuit, Kornelis Tamo Ama (5) mendekati Sr Vero ALMA (40) yang sedang menggendong Kasih, bocah berumur 1,5 tahun yang menangis karena terjatuh saat berlari kecil. Sementara itu, Ferdy (9) dengan balutan baju dan celana warna oranye duduk di lantai. Sesekali dia tiduran lalu merangkak seperti anak bayi memungut remah biskuit yang jatuh dari tangan Kornelis.
Sr Vero menegurnya, ”Jangan Ferdy. Itu kan kotor.” Namun, Ferdy tetap saja memungut remah itu lalu memakannya. Sejurus kemudian, Kornelis mendekati Ferdy lalu ia membagi lagi biskuitnya itu. ”Dia memang tidak pernah pelit. Terkadang dia beri saja yang ia punya meski yang lain sudah dapat bagian,” ujar Sr Vero mengomentari Kornelis.
Begitulah sepenggal suasana di PA Anak Cacat Bakti Luhur, Cabang Waingapu yang terletak di Jl Umbu Tara Landu Km 4, Kambajawa, Waingapu, Sumba Timur, NTT.
Siang itu, di Waingapu, NTT terasa begitu panas. Sekilas tidak ada yang ”istimewa” dengan Panti Asuhan yang dihuni 13 anak, tiga suster, dan tiga pendamping anak ini. Model bangunan rumahnya pun tak ubahnya bangunan rumah-rumah lain di sekitarnya. Mulanya, rumah itu dari satu keluarga yang dibeli para suster ALMA, berkat bantuan seorang donatur dari Jakarta, bernama Pak Chandra. ”Keistimewaan” baru mulai terasa setelah pengunjung masuk ke dalam rumah dan mencoba mengamati penghuninya.
Para penghuninya adalah anak-anak tunarungu, tunanetra, tunadaksa, dan down syndrome. Mereka berasal dari kampung-kampung di seluruh penjuru Pulau Sumba.
Sr Vero menjelaskan, anak-anak itu berasaldari keluarga-keluarga miskin. Orangtua mereka adalah petani miskin dan buta huruf. Untuk mendapatkan anak-anak ini, para suster harus ”bergerilya” keluar masuk kampung, melintasi perbukitan sambil menembus panas. Sesekali mereka harus menginap di rumah masyarakat atau umat karena kemalaman atau keletihan berjalan kaki. Berkat dukungan data RT, RW, Kades atau Lurah, para suster ini bisa berjumpa dengan anak-anak cacat.
Jarak rumah mereka bervariasi, mulai yang hanya beberapa kilometer sampai berjarak 90 km. Saat mencari anak cacat di Nggongi yang jaraknya 70 km ke arah timur Kota Waingapu misalnya, para suster menumpang bus menuju Pastoran Nggongi. Dari sana, mereka masih berjalan kaki sejauh 20 km melintasi daerah perbukitan. Acapkali mereka kemalaman dan harus menginap di rumah masyarakat. ”Kami didampingi pembina umat atau guru agama. Mereka tahu betul keadaan sehingga kami bisa dengan mudah masuk ke kampung-kampung,” papar Sr Vero didampingi Sr Petronela Ndua Ate ALMA.
Agar tidak tampak menjadi ”makhluk” asing di tengah masyarakat yang belum terbiasa melihat sosok biarawati, para suster ini mengenakan ”seragam miskin”. ”Ini penting sebab masyarakat tidak terbiasa dengan pakaian suster,” tambah Sr Vero.
Meski niat para suster ini sangat mulia, tidak dengan mudah bisa diterima dan dipahami masyarakat. Sebagian orangtua dari para penyandang cacat menaruh curiga dan khawatir anak-anak mereka akan diambil selamanya dan menjadi milik para suster. Para orangtua yang kebanyakan beragama asli Marapu dan agama lainnya ini juga khawatir anak-anak mereka akan dibawa ke gereja dan dikatolikkan.
Berhadapan dengan kecurigaan ini, para suster menjelaskan bahwa karya mereka khusus bagi anak-anak cacat. Karena itu, mereka sama sekali tidak akan mengambil keuntungan. ”Kami hanya ingin mengasuh dan merawat. Tujuan kami bukan untuk memiliki anak-anak Umbu dan Rambu. Nanti kalau sudah besar dan mandiri, mereka boleh diambil kembali. Mereka akan kami pelihara dengan baik, kami didik, dan kami sekolahkan. Mereka pasti akan jadi anak pintar dan sehat karena kami memang belajar khusus untuk mengurus anak-anak cacat,” ungkap Vero mengulangi kata-katanya ketika memberi penjelasan kepada orangtua.
Perlu diketahui, Umbu adalah sebutan terhormat bagi seorang pria Sumba Timur, sedangkan Rambu sebutan untuk perempuan. Kalau di Sumba Barat, lebih lazim dipanggil Ina dan Ama (Ibu dan Bapak).
Walau tidak mudah, dengan penjelasan semacam ini para orangtua mengerti dan mempercayakan anak mereka kepada para suster. Meski begitu, para suster tidak langsung bisa membawa anak-anak cacat itu. Khusus penganut Marapu, mereka harus mengadakan upacara tersendiri untuk meminta izin kepada Marapu atau roh nenek moyang. Kalau ternyata Marapu tidak mengizinkan, anak tidak bisa diberikan.
Hak yang sama
Dalam pengamatan Sr Vero, anak-anak cacat di kampung-kampung tidak mendapatkan perlakuan yang sama dengan anak-anak lainnya. Bahkan, ada orangtua yang memandang mereka sebagai beban hidup. ”Banyak orang berpendapat, anak cacat tidak bisa apa-apa. Hanya dikasih makan, tidak punya kemampuan apa-apa, dan tidak bisa disuruh apa-apa,” jelas Sr Vero. Tapi dari pengalaman Sr Vero dan kawan-kawan, anak-anak cacat ini sebenarnya masih memiliki kemampuan yang masih bisa dikembangkan.
Para suster ini menunjukkan bahwa kemampuan yang ada pada anak-anak ini bisa dipelihara dan dikembangkan, sehingga mereka bisa mandiri. Seorang anak tunadaksa yang sudah berumur tujuh tahun, misalnya. Di kampungnya, ia tidak bersekolah. Setelah berada di panti dan mendapat perawatan yang baik, ia dimasukkan ke TK dan akhirnya ia masuk SD. Ternyata, ketika ujian kenaikan kelas 2, dia mendapat rankingII.
”Bagi kami, anak-anak cacat pun mempunyai hak yang sama. Mereka bisa berprestasi. Jangan sembunyikan mereka,” demikian Sr Vero. Dalam berkarya, para suster ini merasa mendapat dorongan semangat dari kata-kata pendiri ALMA, yakni Pastor Yansen. ”Anak-anak cacat, orang-orang miskin dan terlantar adalah majikan, kita adalah pelayan mereka. Jadi, kita harus melayani mereka sampai batas kemampuan kita.”
Kamar baru
Di tengah niat mulia melayani anak-anak cacat, para suster di panti ini dihadapkan pada beberapa kesulitan. Yang pasti, mereka tidak bisa mengharapkan dukungan biaya dari keluarga anak-anak cacat. Seluruh biaya perawatan, makan minum, dan biaya sekolah, serta uang rumah sakit jika ada yang sakit ditanggung para suster.
”Biaya yang ada sangat minim sehingga kami harus benar-benar hemat. Yang kami dapat hanya uang makan. Kami harus pandai mengolah uang yang sedikit agar anak-anak bisa makan,” ungkap Sr Vero sambil menjelaskan bahwa panti tersebut pernah dua kali mendapat bantuan beras dari Pemda dan PLN saat Natal.
Para suster ini sangat kebingungan jika sewaktu-waktu ada anak yang sakit, apalagi kalau harus rawat inap. Pernah pada tahun 2007, seorang anak sakit epilepsi sehingga harus dirawat di rumah sakit selama satu minggu. Biaya pengobatannya Rp 700.000. Sementara itu, Sr Vero tidak memiliki biaya sebesar itu sehingga dia meminta pengertian pihak rumah sakit agar diperkenankan membayar secara berangsur. Setelah itu, Sr Vero memutar otak. Lalu, ia datang ke RT/RW dan kelurahan untuk meminta surat keteranganmiskin sehingga mendapat potongan setengah harga.
Kini, kebutuhan paling mendesak bagi mereka adalah dua lemari pakaian anak-anak. Selain itu, Sr Vero ingin menambah satu kamar tidur lagi. ”Kami berharap bisa menambah satu kamar, sebab kamar yang kecil ini ditempati enam anak dan dua ibu pendamping,” jelasnya. Dengan luas kamar yang hanya sekitar 3×4 m2, hawa terasa sangatpanas. Apalagi, cuaca di Waingapu terkenal sangat panas. ”Kami rindu sekali menambah satu kamar di belakang supaya bisa menampung empat anak dan dua pengasuh,” tambahnya.
Hal lain yang membuat Sr Vero sedih adalah tatkala anak-anaknya meminta sepeda. Berhadapan dengan permintaan semacam ini, suster asal Jawa, berlogat Sumba ini hanya mengatakan, ”Mama belum dapat rezeki. Nanti kalau sudah dapat kita beli. Sekarang ini, yang penting kita bisa makan dulu.”
Memang sangat tampak di panti ini anak-anak tidak memiliki fasilitas bermain. Boneka Barbie atau mobil-mobilan tergolong barang mewah bagi mereka. ”Paling-paling kami hanya ajak mereka bermain sambil menggambar atau mewarnai,” timpal Sr Nela.
Selain anak-anak yang ditampung di panti, para suster juga memiliki 29 anak binaan yang tetap tinggal di keluarga masing-masing. Secara berkala, mereka mengunjunginya. Tempat tinggal mereka ada yang dekat, namun ada juga yang jauh. Tidak capai? ”Kami juga capai. Tapi, karena kami sadar bahwa kami ada untuk mereka, kami jalani dengan senang hati,” ujar Sr Nela yang pernah terjatuh dari motor dan mengalami luka cukup parah saat menjemput anak-anak panti dari SLB di Londa Lima, 7 km dari Kota Waingapu.
Emanuel Dapa Loka –

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *