December 4, 2011
Menutup tahun 2011, Rajawali Foundation berbagi kasih dengan anak-anak berkebutuhan khusus (diffrent able people, DIFABLE) di Yayasan Bhakti Luhur, Pamulang


Namanya Nurlela. Walau tidak cantik, namun wajahnya juga bukan tergolong buruk rupa. Sayang, di usianya yang sudah menginjak 19 tahun, tingkah polahnya lebih mirip anak TK. Mimik mukanya tampak seperti bocah ingusan. Sebagian rambutnya dikuncir ke atas, sembarangan. Bola matanya selalu berlari ke sana ke mari, tak pernah tenang. Karena menderita keterbelakangan mental, Nurlela belum bisa mengurus dirinya sendiri. Bahkan untuk makan pun, ia harus disuapi oleh teman atau perawatnya.


Lain lagi cerita Johanes. Kepalanya cuma ditumbuhi rambut yang cepak alias pendek, cenderung botak. Oleh sebab itu, beberapa pitak yang dimiliki tampak kentara. Dia hyperaktif. Kalau kesal, dia seringkali memukuli (baca: menganiaya) temannya. Tapi sekarang dia sudah tahu, bahwa memukul teman itu dilarang. Namun karena itu pula, dia sering membentur-benturkan kepalanya sendiri sebagai penyaluran kekesalan yang kadang melanda. Tak heran banyak bekas luka bocor di kepalanya yang kemudian meninggalkan pitak di beberapa tempat. Lebih parah lagi, Johanes adalah pemakan segala. Cacing yang ditemukan di pekarangan pun dia langsung makan. Untuk meredam sifat aktifnya yang luar biasa, setiap hari Johanes diwajibkan guru sekolahnya untuk bermain lompat trampolin hingga ratusan kali agar energinya yang berlebih dapat tersalurkan.


Adapun Senensius adalah anak laki-laki yang juga menderita keterbelakangan mental. Ia ditemukan di area Pasar Senen, di suatu hari Senen. Karena tak diketahui asal-usul, umur dan identitas apapun, akhirnya dipilihkan nama Senensius untuknya. Selain itu, ditetapkan buatnya tanggal 25 Desember sebagai tanggal ulang tahun. Ngawur memang, tapi setidaknya,”Setiap bulan Desember, banyak donatur yang datang memberi sumbangan ke sini,” kata Sr.Ludwina Rosmawati, salah satu pendamping di Yayasan Bhakti Luhur, Pamulang.


Ya, beberapa anak tadi adalah sebagian dari anak-anak difable yang bernaung di bawah payung Yayasan Bhakti Luhur. Yayasan ini adalah yayasan sosial yang memberi perhatian khusus pada para penyandang cacat yang miskin, terlantar dan dipinggirkan. Di Pamulang, ada 60 anak – 59 anakdifable dan 1 anak normal— yang ditampung di wisma Bhakti Luhur. “Kami mendapat pinjaman rumah dari donatur, sampai kami mampu mandiri,” sambung Sr. Ludwina Rosmawati yang akrab disapa Suster Ros. Namun yayasan Bhakti Luhur bukan hanya mengurus anak-anak yang ditampung di wisma mereka.
“Anak kami yang berada di luar wisma jumlahnya mencapai 400 anak lebih,” kata Suster Ros. Lebih jauh Suster Ros menjelaskan bahwa ukuran keberhasilan bagi mereka sebenarnya justru apabila makin sedikit anak-anak yang berada di wisma karena hal itu menunjukkan para pendamping dan pengasuh telah berhasil mendidik anak-anak difable untuk dapat kembali hidup bersama masyarakat



Berbagi Kasih, sebuah pembelajaran
Celakanya, banyak kasus di mana anak telah siap kembali hidup di tengah, masyarakat, tapi mereka justru ditolak oleh keluarga atau lingkungan sekitarnya. Ada pula yang tidak bisa dikembalikan karena keluarganya sudah menghilang, tak lagi bisa diketemukan. Walhasil, tak mudah bagi Yayasan Bhakti Luhur mewujudkan keinginan mereka untuk melepas kembali anak-anak asuhannya ke masyarakat. Nah, dalam rangka aksi sosial, Rajawali Foundation melakukan kunjungan terhadap anak-anak di Yayasan Bhakti Luhur pada Rabu (14/12) lalu.


Melalui komunikasi yang sudah terjalin sebelum kunjungan, kami membawa beberapa barang kebutuhan riil buat anak-anak tersebut, yaitu tas sekolah –lengkap berisi berbagai perlengkapan sekolah– hingga kebutuhan sehari-hari mulai dari minyak kayu putih, shampoo hingga pembersih lantai. “Inilah bentuk kepedulian sosial riil yang kami lakukan, yaitu berbagi kasih,” kata Fritz E. Simandjuntak, President Rajawali Foundation.


Bersama Rajawali Foundation, beberapa business unit seperti Green Eagle Group dan Greenland Rajawali Utama (GRU) ikut ambil bagian dalam kegiatan penutup tahun 2011 ini. Menariknya, pada saat kami berbincang-bincang dengan Suster Ros, kami justru belajar banyak dari para pekerja sosial di Bhakti Luhur. Boleh dibilang, mereka membantu para penyandang cacat tanpa pamrih. Kesabaran yang mereka miliki jelas di luar batas standar. Bayangkan saja, kenakalan anak seperti mematahkan kran air, merusak peralatan elektronik hingga melepas kaca jendela adalah hal sehari-hari yang sudah sangat biasa. Belum lagi harus menyuapi makan, memandikan atau mengajak bermain sekedar untuk mengisi aktifitas mereka. Sungguh suatu keajaiban ada orang-orang yang dengan rela hati mau merawat mereka yang memiliki kebutuhan khusus, miskin dan dibuang oleh keluarga dan masyarakat.


Dari para pekerja sosial itu kami belajar bahwa sentuhan, pelukan, dekapan dan bahkan tatapan penuh kasih akan sangat berarti buat anak-anak ini. Keberadaan mereka bukan semata menunggu uluran tangan kita, tapi keberadaan mereka justru membuat kita senantiasa selalu merasa bersyukur atas apa yang sudah kita dapat dan pembelajaran untuk selalu berbagi kasih.


Alih-alih kami datang mengulurkan tangan untuk memberi sesuatu, namun hari itu kami justru mendapat banyak pembelajaran. Dari anak-anak itu, kami belajar bersyukur atas semua yang telah kami dapatkan, belajar pentingnya saling berbagi dan menolong serta belajar menghargai satu sama lain sesama manusia ciptaan Tuhan. (Christiantoko)

